Sabtu, 26 September 2015

Membaca Cerpen : Pohon-Pohon karya Franz Kafka


Pohon-Pohon (Di Bȁume)

Kemudian kita ini seperti batang-batang pohon di salju. Tampak tergeletak mengkilap dan dengan dorongan sedikit saja sudah dapat digulingkan orang. Tidak, orang tak bisa melakukannya, karena batang-batang pohon itu terpaut kuat dengan tanah. Tapi, tampaknya, bahkan ya, hanya seperti itu.


Komentar saya:

Cerpen ini adalah salah satu dari cerpen karya Kafka yang paling pendek, selain beberapa cerpen lainnya seperti yang berjudul Kleine Fabel atau Zerstreutes Hinausschaun (yang belum saya bahas kali ini). Sempat terbersit di benak saya ketika kali pertama membaca karya penulis asal Jerman yang satu ini, bahwa apakah bisa tulisan yang hanya terdiri atas satu paragraf dengan 4 atau 5 kalimat bisa disebut cerpen? Atau ini ‘cerpen pendek’? Cerpen saja definisinya adalah cerita pendek, tidak berseri, one-shot, sekali tembak, dan lain sebagainya.Tidak biasa, memang, tapi justru itu letak keistimewaannya. Dengan keterbatasan ruang penulisannya, alhasil karya yang dihasilken menjadi ‘padat’ dan ‘berasa’. Saya merasakannya ketika membaca novel Kafka yang berjudul Metamorphosis, yang jumlah halamannya bahkan kurang dari 100 halaman. Ceritanya difokuskan ke kehidupan sang tokoh utama yang mulai berubah saat terjadi masalah baik internal maupun dengan orang-orang di sekitarnya, dan justru tidak mengarah ke poin pembahasan ‘apa yang menyebabkan masalah terjadi’. Nah. Ciri khas tulisan beraliran ekspresionis, dimana penulis biasanya menyalurkan pendapatnya melalui sebuah analogi. Agak sulit membiasakan diri dengan tulisannya terutama bagi saya yang kebiasaan membaca cerita fiksi fantasi dan mitologi, akan tetapi memahami dan menginterpretasikannya itu justru seru dan memusingkan.

Oke, saya akan lanjut ke pembahasan mengenai cerpennya. Ada dua pendapat yang saya kira cukup sesuai.

Yang pertama, sepertinya mencoba mengatakan bahwa suatu objek─yang dalam cerita ini dianalogikan sebagai batang pohon─dilihat dan diinterpretasikan setiap orang menurut persepsi atau pendapat orang itu sendiri. Tidak ada orang yang akan memandang ‘pohon-pohon’ sebagai suatu hal yang sama. Sang penulis sendiri mengawali ceritanya dengan ‘Kemudian kita ini...’. Kafka bilang, ‘Kita’. Sang penulis mengatakannya seolah sedang menyampaikan pendapatnya sendiri kepada orang lain di cerita itu. Rick Riordan, dalam salah satu novel fantasinya yang populer juga sempat mengatakan bahwa manusia melihat suatu hal, baik kejadian maupun objek  sebagaimana  yang ingin dia lihat, dengan cara uniknya masing-masing. Disinilah batas antara ‘khayalan’ dan ‘kenyataan’ senjadi seolah tidak tampak.

Kafka juga menyinggung bahwa kenyataan mungkin tidak selalu sesuai dengan apa yang dibayangkan orang. Yang dikatakannya di kalimat ketiga, ‘Tidak, orang tidak bisa melakukannya, karena batang-batang pohon itu terpaut kuat dengan tanah.‘ bisa diartikan bahwa mungkin, mungkin saja, batang-batng pohon tersebut tidak mudah digelincirkan sebagaimana yang terlihat. Hanya dikira-kira berdasarkan pengamatan, seperti yang disebutkan di kalimat terakhir.

‘Tapi, tampaknya, bahkan ya hanya seperti itu.’

Sebagian orang ada yang menginterpretasikan cerpen ini sebagai penggambaran karakter manusia, merujuk kepada kalimat pertama, kalimat yang ternyata, teramat penting jika diperhatikan kembali.

‘Kemudian kita ini seperti batang-batang pohon di salju.’

Hmm. Ternyata yang dianalogikan sang penulis adalah manusia. Manusia adalah makhluk lemah, mudah tergelincir dan dirubuhkan oleh masalah yang menimpanya. Namun, apabila manusia─dianalogikan sebagai pohon yang terpaut kuat dengan tanah, maka orang tak mudah menggelincirkannya meskipun diatas salju yang licin. Tapi mengkhayalkan diri sebagai makhluk yang kuat tidak cukup, bahkan jika semata-mata cuma agar terlihat kuat. Barangkali, sih,

“Bayangkan dirimu menjadi kuat dan buatlah kekuatanmu itu jadi nyata.”

Saya harus katakan, ini kali pertama saya menulis review dan interpretasi sotoy sendiri, dan saya sebelumnya memang tidak suka maupun tidak bakat dalam kepenulisan. Kita memandang segala sesuatu dalam opini yang berbeda-beda, jadi maaf kalau interpretasi saya tidak sesuai dengan yang dinterpretasikan sendiri oleh anda yang baca.



Fatih F Nuzula

Sabtu, 19 September 2015

Hukum Penulisan Cerita Detektif


Sama seperti menulis tesis, atau makalah, atau semacamnya, menulis cerita detektif tidak bisa tanpa aturan. Jika cerita bergenre ini ditulis tanpa aturan, itu akan menyulitkan pembatasan genre itu sendiri, sebagai contoh, banyak orang yang keliru menyebut genre horor sebagai genre misteri.

Atau kadang, sang pelaku tidak disebutkan diawal cerita, sama sekali. Kebanyakan pembaca senang membaca cerita misteri sambil menebak-nebak endingnya. Kalau pelakunya tak muncul dari awal, dimana bagian serunya?

Maka dalam kesempatan saya mau membagi beberapa hukum menulis cerita misteri, salah satunya adalah Decalogue Knox, yang dibuat oleh Monsignor Ronald A. Knox (1888-1957), seorang kritikus penulisan dan editor yang juga penulis cerita fiksi detektif. Hukum ini dipublikasikan di Best Detective Stories of 1928-29. 

1. Sang pelaku haruslah seseorang yang telah disebutkan di bagian awal cerita, tapi tidak boleh merupakan orang yang pola pikirnya dijelaskan dalam sudut pandang siapapun dalam cerita itu. Kalau pola pikirnya bocor ke pembaca, pencarian sang pelaku pastinya tidak seru. Kecuali kalau ada pelaku dibalik pelaku, dengan kata lain, si pelaku yang pola pikirnya dibeberkan dikendalikan oleh sesuatu atau seseorang yang tak dijelaskan. Dalam kasus ini, Death Note contoh yang bagus, menurut saya.

2. Lembaga supranatural atau preternatural tidak boleh muncul sebagai detektif dalam cerita tersebut, kecuali genrenya bisa diracik matang seperti salah satu cerita yang saya sebut tadi. Bahkan dalam cerita tersebut, lembaga supranatural memang tidak bekerja secara formal, hanya sebagai latar belakang saja.

3. Tidak boleh ada ruangan atau jalan rahasia lebih dari satu yang disebutkan. Yang satu ini biasanya terjadi di kasus ruang tertutup.

4. Tidak boleh ada racun atau bahan-bahan kimia yang belum pernah dijelaskan atau ditemukan dalam awal cerita tersebut, yang akan menyebabkan penjelasan panjang di akhir cerita itu.

5. Orang-orang yang muncul secara minor dilarang menghambat atau membantu detektif menginterpretasikan atau menjelaskan jawaban atas kasus.

6. Tidak boleh ada kebetulan dalam penyelidikan atau intuisi tanpa penjelasan yang akan membantu detektif dalam cerita.

7. Detektif bukanlah sang pelaku.

8. Dalam penyelesaian kasus tidak boleh ada petunjuk yang tidak disajikan ke hadapan para pembaca.

9. Pengamat dalam cerita detektif boleh memberikan interpretasi sendiri atas kasus yang dihadapi, contohnya adalah yang dilakukan John Watson dalam salah satu cerita di Memoirs of Sherlock Holmes.

10. Tidak boleh ada karakter yang menyamarkan dirinya sebagai orang lain tanpa petunjuk yang disebutkan.


Tapi ingat,
Kalau anda tidak harus mengikuti keseluruhan dari hukum berikut, anda bisa mengembangkan kreativitas anda dalam menulis cerita detektif versi anda sendiri dengan mencampur genre misalnya, selama masih ada batasan yang masuk akal sebagaimana seharusnya cerita detektif.


Fatih F N